CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Translate

Friday 11 January 2013

Nikah Sirri dan Permasalahnya


BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang
Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat seiring berjalannya waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan audiovisual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri. Masalah Nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengetahuan pihak berwenang tersebut.Biasanya, Nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustaz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat istiadat saja. Perkara ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang yaitu Kantor Urusan Agama (bagi yang muslim) atau Kantor Catatan Sipil setempat (bagi nonmuslim) untuk dicatat.
Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah.
Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.[1]Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan.Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya.Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Berbagai pemberitaan tersebutlah yang melatarbelakangi penulis untuk memilih topik “Nikah Siri” sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan makalah pada mata kuliah Fiqih Jinayah. Terlepas dari berbagai pemberitaan akan “Pernikahan Siri” yang terjadi, masih banyak mahasiswa yang salah mengartikan nikah siri dan tidak mengerti baik-buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi diangkatnya topik “Pernikahan Siri” ini.
1.2  Tujuan Penulisan
Tujuan menulis dan menyusun makalah ini antara lain :
a.       Untuk memahami berbagai definisi akan Nikah Siri
b.      Lebih megkaji dan memahami tentang Nikah Siri.
c.       Mengetahui dampak positif dan dampak negatif dari nikah siri
d.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Jinayah
1.3  Rumusan Masalah
a.       Apakah yang dimaksud dengan Nikah Siri ?
b.      BagaimanaLandasan Terkait Catatan Pernikahan ?
c.       Bagaimana Nikah Siri Menurut Hukum Negara ?
d.      Apa saja Bahaya Terselubung Surat Nikah?
e.       Apa saja kekurangan dan kelebihan Nikah Sirri?
f.       Bagaimana Pandangan Islam tentang Nikah Sirri?
g.      Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan?
h.      Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
i.        Bagaimana Nikah Sirri dalam pandangan masyarakat?






































BAB II

PEMBAHASAN



A.    Definisi Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan :
1.        Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2.        Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya. 
3.        Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

B.     Landasan Terkait Catatan Pernikahan
Pertama, pada dasarnya fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, bukti yang dianggap sah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.

C.    Nikah Siri Menurut Hukum Negara
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
·         Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
·         Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan  pada lembaga pencatatan sipil. Sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni:
(1)   hukum pernikahannya dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara.

D.    Hukum Pernikahan Tanpa Wali Menurut Syari’at
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”
(HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648).
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”.(HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649).
Abu Hurairah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya.Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri.Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”.(HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil.Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan, sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah, atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan, pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut:
(1) Wali
(2) dua orang saksi, dan
(3) ijab qabul. 
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Hal-Hal Positif yang didapat dari Penyiaran Pernikahan:
1.      Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat.
2.      Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai.
3.      Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda:
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.(HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
E.     Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan sirri, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara. Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan, sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah, atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut:Pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya.Kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya.Ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy.Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan.Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy.Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara.Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil.Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu sebelumnya kompleks dengan keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka. Walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu).Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. QS AL Baqarah:2
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya.Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter.Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan.Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan.Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya.Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat.Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara. Padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah.Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat.Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
F.     Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah,bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah:
·         Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara Agama  benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
·         Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak Sah antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri padahal mereka sudah bercerai, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktujika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat agar masyarakat semakin memahami hukum syariat, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.













BAB III

FENOMENA NIKAH SIRRI DI MASYARAKAT

A.    Dampak Negatif dan Positif Nikah Sirri
Di Indonesia, nikah siri mulai berkembang sejak dekade 1970-an yang awalnya ditandai dengan realitas yang terjadi di daerah Kalimantan. Ketika itu pemerintah Indonesia memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan asing yang akan menebang dan mengelola kayu. Bisnis usaha ini membutuhkan banyak pekerja, tidak hanya tenaga kerja dalam negeri tetapi juga mencakup tenaga kerja asing yang datang sendiri-sendiri tanpa disertai keluarganya. Keadaan ini menyebabkan kebutuhan biologis mereka yang perlu “disalurkan”, mengingat istri-istri mereka yang berada jauh di negaranya masing-masing.Sebagai salah satu usaha memenuhi hasrat itu, mereka mendekati perempuan-perempuan penduduk sekitar pabrik.Tidak sedikit dari mereka yang berkeinginan menikahi perempuan-perempuan itu. 
Ternyata, Nikah itu tidak mudah dilakukan karena harus melalui prosedur hukum yang tidak mudah, mengingat mereka berada di jalur hukum yang berbeda dan juga kebanyakan pendatang asing tersebut menganut agama yang berbeda pula dengan kebanyakan penduduk setempat.Jalan yang mungkin ditempuh adalah melakukan perkawinan secara siri (bawah tangan) melalui mediasi sejumlah ulama atau kiyai di daerah itu yang berfatwa bahwa akad nikah tetap sah meskipun tidak dicatatkan di KUA setempat.Nikah siri juga marak terjadi akibat kondisi penduduk yang masih dalam kondisi kekurangan dan juga didukung oleh persepsi perempuan-perempuan setempat yang menganggap bahwa jika bisa menikah dengan tenaga kerja asing, kehidupan ekonomi mereka dapat lebih meningkat. 
Nikah siri bahkan rentan untuk menjadi kedok atau ajang trafficking, dengan kata lain menjadikan perkawinan siri sebagai lahan bisnis. Sebagai contoh, di Cisarua Puncak, terdapat sebuah kampung bernama Kampung Sampay yang dikenal sebagai daerah wisata para turis Arab, atau lebih populer dengan sebutan “Warung Kaleng”. Beberapa nama gang di kawasan Cianjur pun banyak yang menggunakan nama-nama berbau Arab. Banyaknya turis yang pergi ke kawasan tersebut memunculkan istilah “Musim Arab”, yang menyemarakkan praktek perkawinan siri. Di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur atau yang dikenal dengan sebutan Bopunjur juga banyak terjadi kasus-kasus perkawinan di bawah tangan atau perkawinan siri.Biasanya lahan bisnis tersebut difungsikan sebagai semacam jasa kontak jodoh.Praktik seperti itu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang menpunyai uang berlebih kemudian mendatangi seorang kiyai/ustaz untuk memintanya menjadi wali nikah yang bersedia menikahkan mereka secara siri.Daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai pusat industri di tanah air biasanya lahan bisnis perkawinan siri.
Bisnis Nikah siri menunjukkan bahwa sesungguhnya perkawinan model ini tidak sepenuhnya dilandasi dengan itikad baik, niat pihak-pihak yang melakukan perkawinan siri lebih dilandasi oleh keinginan-keingainan seksual dan material semata.
Nikah siri pada perkembangan selanjutnya kerap dijadikan “pelarian” bagi sejumlah pihak yang ingin berpoligami, tetapi tanpa memberitahukannya kepada isteri sebelumnya.Poligami yang berkendaraan perkawinan siri ini telah menjadi senjata paling ampuh yang digunakan oleh banyak laki-laki yang ingin menyalurkan hasrat seksualnya dengan beristeri lebih dari seorang. Tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan cara tersebut sebagai aksi perselingkuhan. Berbeda dengan perselingkuhan pada umumnya, perselingkuhan yang satu ini lebih mandapat pengakuan dari agama.Artinya, sebagian kalangan menganggap bahwa dengan menikah secara siri, seseorang dapat terhindar dari perzinaan yang sudah jelas dilarang oleh agama.
Nikah siri tak jarang pula banyak dilakukan para mahasiswa dengan alasan menghindari zina, setelah lulus kuliah mereka akan mencatatkan ke KUA dan mengadakan perayaan/resepsi pernikahan. Tapi dalam prakteknya, dengan alasan untuk menghindari zina, perkawinan siri dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua.Mereka bahkan menikah dengan sesama anggota jamaah, yang menikahkannya pun bukan walinya yang sah tapi dinikahkan oleh pimpinan jamaahnya dan tidak dicatatkan pada pemerintah.Perkawinan siri dikalangan pelajar dan mahasiswa ini marak dilakukan dan mulai menggejala pada paruh tahun 1980-an.
Pada lingkungan Pegawai Negeri dan Pejabat Negara demi karir dan keluarga serta menghindari zina akan memilih melakukan Nikah siri dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa ketatnya PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, sedikit banyak memicu mereka mengambil jalur siri ini.
Ketika menjadi ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Giwo Rubianto mendapati 20 persen dari pengaduan wanita yang bermasalah perkawinannya adalah karena menikah siri. Mereka dinikahi siri oleh pejabat atau pengusaha, lalu ditinggal begitu saja walau sudah punya anak. Salah satu ketua Korps Wanita Indonesia (Kowani) itu mengemukakan bahwa motif perkawinan siri bagi perempuan adalah memenuhi kebutuhan perlindungan sekaligus ekonomi. Menurutnya  dalam kasus ini mereka menjadi korban. Dirugikan oleh pihak laki-laki. Karena tak tercatat secara hukum, laki-laki bisa gonta-ganti perempuan. Namun ternyata berdasarkan pengamatannya, banyak juga kasus perkawinan justru diduga karena perempuan ingin berganti-ganti lelaki. Motifnya mungkin memenuhi kebutuhan biologis, hal tersebut lebih berbahaya dari pada motif ekonomi atau mendapatkan perlindungan. Dia meyakini perkawinan siri ini harus dicegah mengingat perempuan menjadi korban. Dengan gonta-ganti pria, maka anaknya nanti bisa tak karuan status hukumnya. Lebih jauh lagi, masa depan perempuan itu tak jelas.
Kalau fenomena Nikah siri ini dilakukan oleh kalangan selebriti, yang notabene publik figur, maka ini menjadi contoh buruk buat publik. Walau dinyatakan sah secara agama, Giwo mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, ada Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan harus dicatat di KUA atau Catatan Sipil. Oleh sebab itu, menurut Giwo bahwa dalam hal ini MUI dan Departemen Agama berkewajiban mengingatkan umat tentang hal tersebut.
Kasus Nikah siri yang marak dilakukan oleh kalangan selebriti, pejabat, mahasiswa, pegawai negeri sipil dan masyarakat umum merupakan potret masyarakat Indonesia yang masih sering melakukan suatu perkawinan yang hanya dilangsungkan menurut aturan hukum agama atau hukum adat, bahkan lebih parah sering terjadi perkawinan yang juga tidak sah menurut hukum agama, yaitu tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Mengapa perkawinan yang sarat masalah ini masih kerap diminati oleh banyak kalangan, untuk itu, semua pihak baik elemen pemerintah, kaum agamawan (ulama, cendekiawan), maupun masyarakat harus bersatu dalam upaya meminimalisir bahkan menghapus jejak perkawinan siri di tanah air.





































BAB IV

PENUTUP



A.    Kesimpulan
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan.pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil. Kesimpulan kedua bahwa penyiaran pernikahan dan adanya surat nikah lebih banyak menimbulkan hal positif daripada hal negatif. Ketiga, Penguasa (dalam hal ini pemerintah) harus  mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan. Keempat, Pelaku nikah siri hendaknya tidak dipidanakan karena nikah siri dapat terjadi oleh berbagai faktor dan secara syariat pernikahan tersebut sah apabila terdapat :wali, dua orang saksi, dan ijab qabul. Kelima, akibat yang ditimbulkan dari nikah sirri yaitu terjadinya perselingkuhan terselubung dalam rumah tangga dengan lebel halal dari segi agama, adanya traficking. Namun, disisi lain terdapat pula dampak positifnya bagi mereka yang melakukan nikah sirri, seperti terpenuhinya kebutuhan biologis atau materi secara sah dan terhindar dari zina.
B. Saran
Sebaiknya pembahasan mengenai nikah siri tidak hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja namun akan lebih baik apabila disosialisasikan pada masyarakat baik-buruknya dan berbagai pro-kontra yang terjadi agar masyarakat dapat terbantu dalam mengambil keputusan dan mengurangi terjadinya pernikahan siri. Apabila sosialisasi agak sulit, dapat dilakukan dengan terjunnya berbagai pakar yang memahami detail hukum dan seluk-beluk nikah siri ini untuk berdiskusi langsung dengan masyarakat.
Terkadang dimasyarakat yang dianggap panutan adalah sosok ustadz atau kiyai, namun pada kenyataannya justru mereka yang mengetahui detail hukum Agama justru yang melakukan Nikah Sirri. Sehingga masyarakat kurang














DAFTAR PUSTAKA

·         Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat” Mimbar Hukum, no. 28 (1996).
·         Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz IV (Bairut: Dar Muthabi’i, t.th.).
·         Muhammad Ibn ‘Aisi Abu ‘Aisi al-Turmizi al-Salami, Jami’ al-Shahih Sunan al-Turmizi (Bairut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, t.th.).
·         Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fikh (Cet. XII; Kairo: Dar al-Kalam, 1978).
·         Djazuli, Ilmu Fikih :Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam (Cet. VI; Jakarta: Kencana, 2006).
·         Moh. Daud ali, S.H.,”Tidak Memenuhi Hukum Perkawinan Positif Berarti Keluar dari Sistem Perkawinan yang Berlaku” wawancara dalam Mimbar Hukum, no. 28 (1996).
·         Abu Bakar Ba’asyir, Hentikan Saja Nikah Siri, http://nasional.kompas.com.


[1]Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009