CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Translate

Sunday 16 June 2013

Beauty Wonder Mom



“17 September 2008. Heni tidak pernah melakukan segala sesuatu setengah-setangah, bahkan ia menjalani kuliah dengan sungguh-sungguh”
Heni, memiliki nama lengkap Heni Mufidah lahir pada tanggal 20 september 1967 dari pasangan Bapak Dzanuri dan Ibu Nurjanah, sejak kecil Heni dididik sangat disiplin. Bapaknya adalah seorang tentara pada umumnya. Ibunya seorang ibu rumahtangga yang taat dan pendiam. Sebelum menikah dengan Nurjanah, Dzanuri adalah seorang duda dengan enam orang anak.
Jadi, ketika berumah tangga dengan Nurjannah, lahirlah dua orang putri kembar bernama Heni Mufidah dan Hani Musrifah, satu anak laki-laki bernama Muhammad Idris. Sejak menikah mereka hidup bahagia di kota Surakarta. Karena pada saat itu Dzanuri bertugas di Surakarta.Sejak kecil Heni sangat dekat dengan ayahnya, ayahnya seorang yang sangat disiplin dan tegas dalam segala hal, kasih sayang ayahnya sangat besar terhadap anak-anaknya tanpa membedakan saudara-saudara tiri Heni yang lainya. Namun, karena Heni sangat cerdas dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Ayahnya memberikan perhatian yang sedikit berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain.
Ibunya seorang yang tidak banyak berbicara, tidak pernah melerai tingkahlaku anak-anaknya. Heni kecil sangat lincah dan tomboy, dia lebih suka bergaul dengan anak laki-laki sebayanya, bermain sepeda, memanjat pohon dan juga paling suka mengenakan pakaian tomboy layaknya laki-laki. Berbeda dengan saudara kembarnya yang sangat feminim dalam berpakaian.
Ketika duduk dibangku kelas 6 SD, orang tua Heni berpoligami. Ibunya sangat terpukul mengetahui hal tersebut, namun keshalehahan-nya mengalahkan egonya. Sebagai seorang istri yang shalehah akhirnya Nurjannah menjalani kehidupan tersebut dengan sabar. Setelah beberapa tahun berpoligami, akhirnya Dzanuri mulai menyadari bahwa selama ini apa yang dilakukan Dzanuri ternyata salah. Dzanuri akhirnya menceraikan istri keduanya tersebut entah dengan alasan apa. Yang jelas, Dzanuri hanya ingin hidup berumahtangga yang nyaman dan sempurna bersama Nurjannah hingga akhir hayatnya nanti.Pada tahun 1984, Heni akhirnya harus berpisah dengan kedua orangtuanya di Surakarta.
Untuk melanjutkan sekolah dan pesantren Cikoneng Ciamis. Kemudian melanjutkan belajar SMA Bandung. Sejak kecil Heni bercita-cita menjadi seorang muballighoh. Heni mulai memperlihatkan bakatnya sejak remaja. Dia sangat aktif di berbagai kegiatan sosial keagamaan di sekolah dan lingkungan tempat tinggalnya. Ketika Heni harus menjadi panutan dalam keluarga karena ia sebagai satu-satunya anak perempuan yang merasakan hidup di pesantren.
Heni mulai menyadari akan pentingnya menjadi anak yang taat dan berbakti terhadap kedua orangtua. Heni sangat menghormati kedua orangtuanya saat remaja. Meskipun tinggal di pesantren jauh dari orangtua, Heni selalu mengingat pesan kedua orangtuanya, yaitu dalam hal belajar, beribadah, dan membantu kedua orangtua.
Bentuk perhatian Heni kepada kedua orangtua tidak hanya sampai disitu saja. Saat ia remaja, ia terlihat sangat cantik. Pada tahun 1987 KH. Umar Hasanuddin dan Bapak Muzakki memperkenalkan Helmi Tantowi kepada orangtua Heni.
Saat itu Heni tidak langsung menolak ketika dikenalkan, Heni tak henti-hentinya berdoa, meminta yang terbaik dari Allah. Istikharah dilakukanya tiap saat, Heni kemudian memutuskan untuk menerima proses perjodohan tersebut. Begitulah kisah singkat perkenalan mereka. Tak lama sebulan setelah mereka berkenalan, Helmi Sophian mengutarakan maksudnya untuk melamar Heni.
Melalui tahap perkenalan tersebut Helmi tak ragu untuk memilih Heni, tak lama kemudian sekitar tiga bulan mereka melangsungkan pernikahan. Heni adalah seorang wanita yang telah megambil hati Helmi Tantowi, menurutnya Heni adalah wanita penyelamat.
Ya, Heni telah menyelamatkan Helmi dari pergaulan yang bebas. Helmi seorang anak Band, pandai memainkan gitar dan alat-alat musik lainya. Kegemaran Helmi mengantarkannya menjadi seorang musisi band. Dunia entertain mengantarkannya menjadi seorang penyiar radio, sosoknya yang familiar membuat Helmi mudah dikenal oleh banyak kalangan, apalagi dengan suaranya yang sering muncul di radio.
 Helmi laki-laki yang gemar barmain tennis, latar belakang yang sangat berbeda itu bukan halangan untuk menyatukan mimpi mereka dalam mengarungi biduk rumah tangga. Heni yang memiliki latar belakang pesantren, semakin mewarnai hidup Helmi. Helmi banyak belajar tentang ilmu Agama justru dari istrinya. Hidup mereka lebih berwarna, keharmonisan rumahtangga dan nuansa Islami terjalin dengan rapih.
Bukan hal yang mudah, untuk Heni menjadi seorang ibu rumah tangga yang shalihah. Heni memiliki kesabaran yang baik, meredam emosi saat suaminya menunjukan rasa yang tidak nyaman untuk Heni. Heni merupakan sosok yang membuat Helmi merasa tentram, pada dirinya yang tak pernah menunjukkan muka masam. Meskipun perih, Heni selalu mencoba tersenyum dihadapan suaminya.
Menjaga dirinya dan keluarganya saat suaminya tengah bekerja. Bagiamanapun lelahnya seorang suami disaat baru pulang kerja, dan lelahnya Heni tak terasa karena semuanya dilakukan dengan ikhlas maka bahagialah yang mereka rasakan.
Latar belakang Heni yang seorang santri, membuat Helmi semakin yakin menjadikannya seorang istri dan pasangan dalam hidupnya, Helmi yakin dalam dirinya tersimpan kebaikan. Helmi yakin Heni adalah sosok wanita yang mampu mendampingi dirinya dalam suka maupun duka.
Tuntutan dari orangtua untuk mendapatkan wanita shalihah, akhirnya terwujud. Heni seorang istri dan seorang motivator bagi Helmi, Helmi semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu Agama melalui Heni.
Dari pernikahan mereka dikaruniai enam anak, anak pertama bernama Ziyanul Jannah(1989) saat ini sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan usia 1 tahun, anak kedua Heni bernama Luluk Ulinnuha (1991) hingga anak yang ketiga perempuan bernama Raudotul Jannah almarhumah (1993), anak ke empat laki-laki bernama Ibnu Hajar Atsqolani (1996) dan kelima laki-laki bernama Zuhri Syauqi (2002) dan yang terahir perempuan kelas dua SD bernama Alawiyyah (2005).
Sejak menikah Heni tinggal dirumah mertua, beruntung untuk seorang menantu yang sangat disayang oleh mertuanya. Ibu mertua Heni justru tidak mau ditinggal sama Heni, karena sudah terlanjur sayang sama menantu, keharmonisan makin terjalin.
Pahit manisnya kehidupan rumahtangga mereka lalui bersama. Menurut Helmi, Heni sosok yang pandai mengatur keuangan, tak pernah sedikitpun dia menuntut suaminya masalah keuangan. Amplop hasil keringat suaminya selalu diterima dengan senanghati, sedikit atau banyak dia selalu berterimakasih. Heni bukan sosok yang tinggal diam dan hanya mengandalkan gaji dari suami sebagai seorang Pegawai Negri Sipil, sedangkan anak-anaknya makin tumbuh dewasa.
Tahun 1986 Heni mengajar di Madrasah Ibtidaiyyah Miftahul Ulum di Simpanglima, setelah menikah  Heni masih bekerja sebagai Guru Madrasah Ibtidaiyyah di daerah itu. Jarak yang cukup jauh untuk seorang wanita muda bekerja dengan gaji 20 ribu saat itu. Dari Gandasari menuju Simpanglima Heni terbiasa jalan kaki, bahkan terkadang naik sepeda.
Pengajian rutin sering diadakan oleh kalangan guru Madarasah, saat itu bergantian mengisi kajian, Heni berkesempatan mengisi acara dan ternyata bagus. Dari situlah Heni sering diundang untuk mengisi kajian-kajian Islami ibu-ibu, layaknya penceramah kondang saat itu.
Tahun 1988 Heni pindah mengajar di Gandasari menjadi guru kelas. Tahun 1993 mulai berdiri Lembaga Pendidikan Islam Ta’jiziyah di Gandasari. Heni sebagai guru awal di lembaga pendidikan tersebut. Heni mengajar Bahasa Arab dan ilmu Nahwu Shorof. Pada tahun 1994 Heni mengajar Hadits Bukhori, sembari menjadi guru kelas 1-3 di Tsanawiyah Gandasari. Sejak saat itu, kesempatan meniti karirnya sebagai seorang guru dan penceramah disela-sela waktu luangnya semakin meningkat.
Heni yang memiliki watak keras dan tidak mudah putus asa semakin giat menambah wawasan ilmunya. Dia tidak tinggal diam meski sudah menjadi seorang muballighoh, Heni masih setia menimba ilmu kepada KH. Umar Hasanudin di pesantren Tahdibul Wasiyah.
Sejak tahun 1986, tahun dimana Heni pertama kali menginjakkan kaki di dunia ceramah. Pengalaman pertama mengisi ceramah dimasyarakat yaitu di kelompok pengajian Madrasah Ibtidaiyyah. Tuntutan modernisasi yang semakin tinggi, akhirnya Heni harus mengikuti kursus Agama di Ta’rif wa Tafhimul Qur’an di Rejosari bersama suaminya. Kegemaran Heni bicara didepan khalayak bukan isapan jempol belaka. Semakin lama Heni menjadi sosok yang mudah dikenal karena pergaulan sosialnya semakin bagus dan luas.
Pendapatan ekonomi lumayan, dari hasil mengajar dan ceramah, ditambah gaji suaminya ditabung sedikit-sedikit. Untuk membiayai anak-anak sekolah hingga dua anaknya lulus di perguruan tinggi,  kebutuhan hidup lainnya semakin tercukupi.Bulan Mei 2001, Heni dan suaminya akhirnya bisa memiliki rumah tinggal sendiri di dekat Pesantren Gandasari tempat Heni mengajar.
Heni yang aktif mengajar, ceramah, mengurus keluarga ternyata gemar berorganisasi. Tahun 1998 Heni aktif di  Ormas Islam Gandasari. Tahun 1985-1987 sudah masuk organisasi Ummahatul Ghod atau UG, masuk di Jami’atul Banat tahun 1989, Heni menjabat sebagai Bidgar Pendidikan. Pada tahun 1999-2004 dua kali menjabat sebagai Ketua.
Pada tahun 1999-2013 Heni mendirikan Lembaga Prifat dan Bimbel pertama kali di Gandasari, tahun 2009-2013 sebagai ketua Pemuda Pemudi cabang Gandasari. Karir yang semakin menanjak, bukan tanpa tantangan. Tuntutan skala prioritas pendidikan formal menjadi semakin tinggi, bukan karena tidak pandai. Akan tetapi syarat ijazah tidak hanya cukup ijazah SMA saja, meski ilmu agama banyak akan tetapi  belum cukup tanpa ijazah S1. Tuntutan melanjutkan S1 untuk guru SMA dan sertifikasi memutuskan Heni untuk melanjutkan sekolah lagi di Universitas.
Informasi beasiswa kuliah geratis Heni peroleh dari rekan-rekannya mengajar. Helmi menyadari akan kepentingan tersebut, oleh karena itu ia mengizinkan Heni menimba ilmu di Universitas meskipun usianya berbeda dengan teman-teman Heni yang kebanyakan seusia anak-anaknya.
Tanggungjawabnya semakin besar, tuntutan diorganisasi, keluarga, sekolah, dan sebagai penceramah bukanlah hal mudah. Heni terus mendapat dukungan dari suaminya. Cibiran dari kanan-kiri muali berdatangan, mulai dari rekan-rekannya hingga tetangganya. Dirasa sudah tidak pantas karena usia merupakan hal biasa, apalagi dengan kebiasaanya yang cuek bebek. Heni sudah terbiasa diejek pahit sekalipun, ejekan mereka menjadi batu loncatan untuk Heni.    
Hingga pada suatu hari tepat pada tanggal 12 Agustus 2007 dimana ujian kesabaran menimpa Heni, dia harus rela ditinggal pergi oleh putri ketiganya yang bernama Raudotul Jannah, saat itu Heni tengah memasuki jenjang perguruan tinggi. Tuntutan pekerjaan membuatnya harus rela meluangkan waktu untuk menimba ilmu lagi disalah satu perguruan tinggi swasta di kota Semarang.
Universitas Diponegoro, yah itulah tempat Heni melanjutkan studinya di perguruan tinggi setelah sekian tahun berumah tangga, berdakwah dan mengajar di Pesantren Tazkiyatun Nafs Gandasari. Keadaan anaknya yang ketiga tak kunjung sembuh, Raudotul Jannah putri ketiganya divonis sakit kanker, saat itu Heni tengah mendaftar ke Undip. putriya terpaksa harus dirawat dirumah sakit keadaanya semakin parah, Heni dan suami mau tidak mau harus menjaga putri ketiganya secara bergantian, disamping itu putri-putrinya yang lain pun bergantian menjaga salma dirumah sakit.
Suatu hari, saat Heni tengah ujian saringan masuk ke Universitas Diponegoro melalui beasiswa, cobaan semakin membuatnya harus kuat, ternyata keadaan anaknya makin kritis. Rasa sedih terus berkecamuk dalam hati Heni, disisi lain dia harus menjalankan amanahnya karena ternyata dia lolos saringan masuk.
Saat itu seluruh mahasiswa baru penerima beasiswa dihimbau untuk segera masuk ke ruang dekan Fakultas Ushuluddin. Seluruh mahasiwa-pun akhirnya segera memenuhi ruangan. Mendengarkan himbauan dari Dekan Fakultas Ushuluddin:
“Assalamu’alaikum warah matullahi wabarakatuh.Selamat kepada rekan-rekan semua atas terpilihnya kalian sebagai mahasiswa di Fakultas Ushuluddin. Kalian adalah orang-orang pilihan yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Undip. Saya berharap kalian bersungguh-sungguh dalam menjalankan perkuliahan sampai sarjana.”
Betapa rasa bahagia itu mengalir seketika, meskipun ditengah rasa cemas anaknya yang sedang sakit kritis. Heni selalu semangat mengingat pesan-pesan cerita dari putri ketiganya bernama Salma yang tengah terbaring tak berdaya. Pada hari itu Heni terus menjalani prosedur dari fakultas, mengikuti aturan dari wakil dekan meski hanya menghadiri dibacakanya pengumuman:
“Hari ini kalian dikumpulkan untuk melengkapi semua administrasi dan membawa almamater untuk ta’aruf hari senin besok. Kalian wajib datang untuk ta’aruf universitas. Sekarang silahkan kalian lengkapi  administrasi ke rektorat dan ambil almamaternya.”
Henipun mengikuti pekan ta’aruf bersama anak-anak yang jauh lebih muda daripada usianya. Apalagi telah menjadi seorang nenek dari cucu pertamanya bernama Rauqy Adzkiyatul Fataa, yaitu anak dari putrinya yang bernama Aniq Ziyanul Jannah.
Mengenai putri ketiga Heni, setelah berobat kesana-kemari Allah memberikan jalan yang terbaik yaitu berpulang ke hadirat Allah SWT. Duka menyelimuti Heni dan keluarga disamping kebahagiaanya lulus menerima beasiswa di Universitas Diponegoro.
Tidak hanya sampai disana, Heni yang sibuk dengan segudang aktifitasnya sebagai ibu rumah tangga dan mahasiswa dia tetap menjalani profesi dengan penuh tanggung jawab, meskipun duka tengah meliputinya. Heni senantiasa bersikap tegar. Putrinya yang telah meninggal semakin memompa semangatnya untuk belajar.
Teringat akan pesan-pesan putrinya yang telah meninggalkan Heni untuk selama-lamanya. Sedikit rasa menyesal pasti ada dalam hati Heni, karena kesibukannya. Menjadikan waktu untuk kumpul bersama keluarga menjadi berkurang. Sehingga kesempatan untuk mengontrol kondisi anaknya saat dalam kondisi kritispun saat itu sangat tidak maksimal.
Rasa penyesalan itu bukan semakin membuatnya menjadi lemah, justru Heni bertekad mewujudkan harapannya dan harapan dari putri ketiganya tersebut. Heni datang menghampiri teman-teman satu Fakultasnya. Seperti biasanya Heni selalu menyapa teman-temannya. Meski pada saat putrinya meninggal mereka tidak sempat melayat. Mereka mengucapkan  belasungkawa. Jawaban Heni kepada teman-temanya cukup singkat.
“iya gak apa-apa terimakasih, mohon doanya saja semoga di terima disisi Allah, dan diterima segala amal ibadahnya amin”.
Dengan tabah dan sabar Heni selalu menunjukan sikap yang kuat, tidak mudah goyah dan juga putus asa. Meski telah ditinggal lebih dahulu oleh putri ketiganya yang bernama Raudotul Jannah, Heni tetap melanjutkan kuliah dengan tekun.
Sehari-hari Heni masih senantiasa mengajar disekolah, siaran di radio dan juga ceramah. Mengajar merupakan aktifitas keseharianya yang paling menonjol. Bahkan saat ditanya oleh interviewer ketika hendak menerima beasiswa:
“Dengan aktifitas ibu yang banyak itu, menurut ibu, ibu pantas tidak menerima beasiswa ini? Apalagi beasiswa ini dana nya dari umat. Bagaimana tanggapan ibu? Kalau misalnya jadwal  mengajar bu Heni bentrok dengan jadwal kuliah, karena fakultas ini tidak membuka kelas karyawan, apa yang akan ibu lakukan?”
Heni menjawab:
“Hidup saya punya skala prioritas, kalau saya mengajar dan kuliah bareng, saya akan pilih untuk mengajar karena, hidup saya berawal dari mengajar.”
Begitulah Heni menjawab dengan logatnya yang tegas, keras, disiplin dan penuh tanggung jawab. Sungguh ibu yang luar biasa tegar. Kuliah lagi di Universitas Islam Bandung dia jalani setiap hari. Masalah kehadiran dikelas nampak sedikit sekali absen alias hampir tiap mata kuliah dia selalu hadir. Teman-teman Heni yang rata-rata seusia dengan putra putrinya lebih suka memanggilnya dengan sebutan “Ummi” dari bahasa Arab, yang artinya “ibu”.
Heni selalu aktif dikelas, soal tanya jawab dia jagonya.  Pengalaman diluar sudah terlalu banyak, daripada pengalaman teman-temanya yang masih pada pemula. Namun, meskipun sangat jauh usia Heni dibanding teman-temanya, Heni tidak kalah soal semangatnya dalam belajar. Terbukti dari nilai IPK nya, Heni selalu unggul. Apa si yang kurang dari ibu Heni? Istri solihah, guru yang baik bagi murid-muridnya, penceramah, dan juga pengurus organisasi.
Heni yang waktu itu sedang asyik mengayuh sepedanya untuk pergi ke tempat dia mengisi ceramah di acara pengajian ibu-ibu, tiba-tiba ditengah perjalanan ia menerima telfon dari orangtua muridnya. Seorang anak muridnya ternyata membuatnya menjadi gelisah, sebagai guru kelas Heni memiliki tanggungjawab terhadap apapun yang dilakukan oleh anak-anak didiknya.
Anak-anak yang Heni didik dilarang keras untuk merokok, namun tetap saja ada yang melanggar aturan. Kenakalan anak-anak remaja seusia mereka lagi melonjak-lonjaknya. Terpaksa Heni harus menangani  kasus tersebut. Dori saat itu ketahuan tengah merokok di kelas pada saat belajar dengan Pak Guru Matematika.
Saat itu Heni tidak mengetahui kronologisnya. Heni hanya mendapat laporan dari pihak guru lain dan juga murid-muridnya yang lain. Karena Guru Matematika terlanjur emosi, sudah kesekian kalinya anak itu membuat ulah yang kelewat batas kesabaran, akhirnya dia mengatakan tidak mau lagi mengajar anak-anak murid Heni.
Mengetahui hal itu Dori ketakutan bukan main, khawatir di keluarkan dari sekolah, pihak Dori dan orangtuanya meminta tolong membuatkan surat permohonan agar supaya Guru Matematika berkenan mengajar kembali. Heni mengambil jalan tengah, perjanjian damaipun dilakukan dari pihak Dori dan keluarga, guru matematika dan Heni sendiri akhirnya menandatangani surat perjanjian.
Senyum lega kini Heni gapai, satu hal yang menjadi cita-citanya, Heni ingin berhaji dengan suami dan anak-anaknya.
Cita-cita sederhana Heni sebenarnya hanya ingin melihat anak-anaknya tersenyum, mengantarkan mereka pada kesejahteraan serta kesuksesan dimasa depan dengan baik. Yah, ibu mana yang ingin melihat anak-anak yang dilahirkanya menderita? Seorang ibu yang mulia, dan yang pasti apapun dilakukannya hanya untuk anaknya, suami dan keluarganya.
Heni sosok wanita yang tangguh, pekerja keras, tak kenal putus asa istimewa dimata suami, keluarga, anak-anak, dan murid-muridnya hingga teman-teman dikampusnya.
Harapan penulis, semoga apa yang Heni impikan sejak kecil dengan kerja keras dan kesungguhanya berbuah  manis, dan berkilau bagai permata.amin ^_^

No comments:

Post a Comment