“17 September 2008. Heni tidak
pernah melakukan segala sesuatu setengah-setangah, bahkan ia menjalani kuliah
dengan sungguh-sungguh”
Heni, memiliki
nama lengkap Heni Mufidah lahir pada tanggal 20 september 1967 dari
pasangan Bapak Dzanuri dan Ibu Nurjanah, sejak kecil Heni dididik sangat
disiplin. Bapaknya adalah seorang tentara pada umumnya. Ibunya seorang ibu rumahtangga
yang taat dan pendiam. Sebelum menikah dengan Nurjanah, Dzanuri adalah seorang
duda dengan enam orang anak.
Jadi,
ketika berumah tangga dengan Nurjannah, lahirlah dua orang putri kembar bernama
Heni Mufidah dan Hani Musrifah, satu anak laki-laki bernama Muhammad Idris.
Sejak menikah mereka hidup bahagia di kota Surakarta. Karena pada saat itu Dzanuri
bertugas di Surakarta.Sejak kecil Heni sangat dekat dengan ayahnya, ayahnya
seorang yang sangat disiplin dan tegas dalam segala hal, kasih sayang ayahnya
sangat besar terhadap anak-anaknya tanpa membedakan saudara-saudara tiri Heni
yang lainya. Namun, karena Heni sangat cerdas dibandingkan dengan
saudara-saudaranya yang lain. Ayahnya memberikan perhatian yang sedikit berbeda
dengan saudara-saudaranya yang lain.
Ibunya
seorang yang tidak banyak berbicara, tidak pernah melerai tingkahlaku anak-anaknya.
Heni kecil sangat lincah dan tomboy, dia lebih suka bergaul dengan anak
laki-laki sebayanya, bermain sepeda, memanjat pohon dan juga paling suka
mengenakan pakaian tomboy layaknya laki-laki. Berbeda dengan saudara kembarnya
yang sangat feminim dalam berpakaian.
Ketika
duduk dibangku kelas 6 SD, orang tua Heni berpoligami. Ibunya sangat terpukul
mengetahui hal tersebut, namun keshalehahan-nya mengalahkan egonya. Sebagai
seorang istri yang shalehah akhirnya Nurjannah menjalani kehidupan tersebut
dengan sabar. Setelah beberapa tahun berpoligami, akhirnya Dzanuri mulai
menyadari bahwa selama ini apa yang dilakukan Dzanuri ternyata salah. Dzanuri akhirnya menceraikan istri keduanya tersebut entah dengan alasan apa. Yang
jelas, Dzanuri hanya ingin hidup berumahtangga yang nyaman dan sempurna bersama
Nurjannah hingga akhir hayatnya nanti.Pada tahun 1984, Heni akhirnya harus
berpisah dengan kedua orangtuanya di Surakarta.
Untuk
melanjutkan sekolah dan pesantren Cikoneng Ciamis. Kemudian melanjutkan
belajar SMA Bandung. Sejak kecil Heni bercita-cita menjadi seorang muballighoh.
Heni mulai memperlihatkan bakatnya sejak remaja. Dia sangat aktif di berbagai
kegiatan sosial keagamaan di sekolah dan lingkungan tempat tinggalnya. Ketika Heni
harus menjadi panutan dalam keluarga karena ia sebagai satu-satunya anak
perempuan yang merasakan hidup di pesantren.
Heni mulai menyadari akan
pentingnya menjadi anak yang taat dan berbakti terhadap kedua orangtua. Heni
sangat menghormati kedua orangtuanya saat remaja. Meskipun tinggal di pesantren
jauh dari orangtua, Heni selalu mengingat pesan kedua orangtuanya, yaitu dalam
hal belajar, beribadah, dan membantu kedua orangtua.
Bentuk
perhatian Heni kepada kedua orangtua tidak hanya sampai disitu saja. Saat ia
remaja, ia terlihat sangat cantik. Pada tahun 1987 KH. Umar Hasanuddin dan
Bapak Muzakki memperkenalkan Helmi Tantowi kepada orangtua Heni.
Saat itu
Heni tidak langsung menolak ketika dikenalkan, Heni tak henti-hentinya berdoa,
meminta yang terbaik dari Allah. Istikharah dilakukanya tiap saat, Heni
kemudian memutuskan untuk menerima proses perjodohan tersebut. Begitulah kisah
singkat perkenalan mereka. Tak lama sebulan setelah mereka berkenalan, Helmi
Sophian mengutarakan maksudnya untuk melamar Heni.
Melalui tahap
perkenalan tersebut Helmi tak ragu untuk memilih Heni, tak lama kemudian
sekitar tiga bulan mereka melangsungkan pernikahan. Heni adalah seorang wanita
yang telah megambil hati Helmi Tantowi, menurutnya Heni adalah wanita
penyelamat.
Ya, Heni telah
menyelamatkan Helmi dari pergaulan yang bebas. Helmi seorang anak Band, pandai
memainkan gitar dan alat-alat musik lainya. Kegemaran Helmi mengantarkannya menjadi
seorang musisi band. Dunia entertain mengantarkannya menjadi seorang penyiar
radio, sosoknya yang familiar membuat Helmi mudah dikenal oleh banyak kalangan,
apalagi dengan suaranya yang sering muncul di radio.
Helmi laki-laki yang gemar barmain tennis,
latar belakang yang sangat berbeda itu bukan halangan untuk menyatukan mimpi
mereka dalam mengarungi biduk rumah tangga. Heni yang memiliki latar belakang
pesantren, semakin mewarnai hidup Helmi. Helmi banyak belajar tentang ilmu
Agama justru dari istrinya. Hidup mereka lebih berwarna, keharmonisan
rumahtangga dan nuansa Islami terjalin dengan rapih.
Bukan hal
yang mudah, untuk Heni menjadi seorang ibu rumah tangga yang shalihah. Heni
memiliki kesabaran yang baik, meredam emosi saat suaminya menunjukan rasa yang
tidak nyaman untuk Heni. Heni merupakan sosok yang membuat Helmi merasa
tentram, pada dirinya yang tak pernah menunjukkan muka masam. Meskipun perih,
Heni selalu mencoba tersenyum dihadapan suaminya.
Menjaga
dirinya dan keluarganya saat suaminya tengah bekerja. Bagiamanapun lelahnya
seorang suami disaat baru pulang kerja, dan lelahnya Heni tak terasa karena
semuanya dilakukan dengan ikhlas maka bahagialah yang mereka rasakan.
Latar
belakang Heni yang seorang santri, membuat Helmi semakin yakin menjadikannya
seorang istri dan pasangan dalam hidupnya, Helmi yakin dalam dirinya tersimpan
kebaikan. Helmi yakin Heni adalah sosok wanita yang mampu mendampingi dirinya
dalam suka maupun duka.
Tuntutan
dari orangtua untuk mendapatkan wanita shalihah, akhirnya terwujud. Heni
seorang istri dan seorang motivator bagi Helmi, Helmi semakin bersemangat untuk
memperdalam ilmu Agama melalui Heni.
Dari
pernikahan mereka dikaruniai enam anak, anak pertama bernama Ziyanul Jannah(1989) saat ini sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan usia 1 tahun,
anak kedua Heni bernama Luluk Ulinnuha (1991) hingga anak yang ketiga perempuan
bernama Raudotul Jannah almarhumah (1993), anak ke empat laki-laki bernama Ibnu
Hajar Atsqolani (1996) dan kelima laki-laki bernama Zuhri Syauqi (2002) dan
yang terahir perempuan kelas dua SD bernama Alawiyyah (2005).
Sejak
menikah Heni tinggal dirumah mertua, beruntung untuk seorang menantu yang
sangat disayang oleh mertuanya. Ibu mertua Heni justru tidak mau ditinggal sama
Heni, karena sudah terlanjur sayang sama menantu, keharmonisan makin terjalin.
Pahit
manisnya kehidupan rumahtangga mereka lalui bersama. Menurut Helmi, Heni sosok
yang pandai mengatur keuangan, tak pernah sedikitpun dia menuntut suaminya
masalah keuangan. Amplop hasil keringat suaminya selalu diterima dengan
senanghati, sedikit atau banyak dia selalu berterimakasih. Heni bukan sosok yang
tinggal diam dan hanya mengandalkan gaji dari suami sebagai seorang Pegawai
Negri Sipil, sedangkan anak-anaknya makin tumbuh dewasa.
Tahun 1986
Heni mengajar di Madrasah Ibtidaiyyah Miftahul Ulum di Simpanglima, setelah
menikah Heni masih bekerja sebagai Guru
Madrasah Ibtidaiyyah di daerah itu. Jarak yang cukup jauh untuk seorang wanita
muda bekerja dengan gaji 20 ribu saat itu. Dari Gandasari menuju Simpanglima Heni
terbiasa jalan kaki, bahkan terkadang naik sepeda.
Pengajian
rutin sering diadakan oleh kalangan guru Madarasah, saat itu bergantian mengisi
kajian, Heni berkesempatan mengisi acara dan ternyata bagus. Dari situlah Heni
sering diundang untuk mengisi kajian-kajian Islami ibu-ibu, layaknya penceramah
kondang saat itu.
Tahun 1988
Heni pindah mengajar di Gandasari menjadi guru kelas. Tahun 1993 mulai berdiri Lembaga
Pendidikan Islam Ta’jiziyah di Gandasari. Heni sebagai guru awal di
lembaga pendidikan tersebut. Heni mengajar Bahasa Arab dan ilmu Nahwu Shorof.
Pada tahun 1994 Heni mengajar Hadits Bukhori, sembari menjadi guru kelas 1-3 di
Tsanawiyah Gandasari. Sejak saat itu, kesempatan meniti karirnya sebagai seorang
guru dan penceramah disela-sela waktu luangnya semakin meningkat.
Heni yang
memiliki watak keras dan tidak mudah putus asa semakin giat menambah wawasan
ilmunya. Dia tidak tinggal diam meski sudah menjadi seorang muballighoh, Heni
masih setia menimba ilmu kepada KH. Umar Hasanudin di pesantren Tahdibul Wasiyah.
Sejak tahun
1986, tahun dimana Heni pertama kali menginjakkan kaki di dunia ceramah. Pengalaman
pertama mengisi ceramah dimasyarakat yaitu di kelompok pengajian Madrasah
Ibtidaiyyah. Tuntutan modernisasi yang semakin tinggi, akhirnya Heni harus
mengikuti kursus Agama di Ta’rif wa Tafhimul Qur’an di Rejosari bersama
suaminya. Kegemaran Heni bicara didepan khalayak bukan isapan jempol belaka.
Semakin lama Heni menjadi sosok yang mudah dikenal karena pergaulan sosialnya
semakin bagus dan luas.
Pendapatan
ekonomi lumayan, dari hasil mengajar dan ceramah, ditambah gaji suaminya ditabung
sedikit-sedikit. Untuk membiayai anak-anak sekolah hingga dua anaknya lulus di perguruan tinggi, kebutuhan hidup lainnya
semakin tercukupi.Bulan Mei 2001, Heni dan suaminya akhirnya bisa memiliki
rumah tinggal sendiri di dekat Pesantren Gandasari tempat Heni mengajar.
Heni yang
aktif mengajar, ceramah, mengurus keluarga ternyata gemar berorganisasi. Tahun
1998 Heni aktif di Ormas Islam Gandasari. Tahun 1985-1987 sudah masuk
organisasi Ummahatul Ghod atau UG, masuk di Jami’atul Banat tahun 1989, Heni menjabat sebagai Bidgar Pendidikan.
Pada tahun 1999-2004 dua kali menjabat sebagai Ketua.
Pada tahun 1999-2013 Heni mendirikan Lembaga Prifat dan Bimbel pertama kali di Gandasari, tahun 2009-2013 sebagai ketua Pemuda Pemudi cabang Gandasari. Karir yang semakin menanjak, bukan tanpa
tantangan. Tuntutan skala prioritas pendidikan formal menjadi semakin tinggi, bukan
karena tidak pandai. Akan tetapi syarat ijazah tidak hanya cukup ijazah SMA
saja, meski ilmu agama banyak akan tetapi
belum cukup tanpa ijazah S1. Tuntutan melanjutkan S1 untuk guru SMA dan
sertifikasi memutuskan Heni untuk melanjutkan sekolah lagi di Universitas.
Informasi
beasiswa kuliah geratis Heni peroleh dari rekan-rekannya mengajar. Helmi
menyadari akan kepentingan tersebut, oleh karena itu ia mengizinkan Heni
menimba ilmu di Universitas meskipun usianya berbeda dengan teman-teman Heni
yang kebanyakan seusia anak-anaknya.
Tanggungjawabnya
semakin besar, tuntutan diorganisasi, keluarga, sekolah, dan sebagai penceramah
bukanlah hal mudah. Heni terus mendapat dukungan dari suaminya. Cibiran dari
kanan-kiri muali berdatangan, mulai dari rekan-rekannya hingga tetangganya.
Dirasa sudah tidak pantas karena usia merupakan hal biasa, apalagi dengan
kebiasaanya yang cuek bebek. Heni sudah terbiasa diejek pahit sekalipun, ejekan
mereka menjadi batu loncatan untuk Heni.
Hingga pada
suatu hari tepat pada tanggal 12 Agustus 2007 dimana ujian kesabaran menimpa
Heni, dia harus rela ditinggal pergi oleh putri ketiganya yang bernama Raudotul Jannah, saat itu Heni tengah
memasuki jenjang perguruan tinggi. Tuntutan pekerjaan membuatnya harus rela
meluangkan waktu untuk menimba ilmu lagi disalah satu perguruan tinggi swasta di
kota Semarang.
Universitas Diponegoro, yah
itulah tempat Heni melanjutkan studinya di perguruan tinggi setelah sekian
tahun berumah tangga, berdakwah dan mengajar di Pesantren Tazkiyatun Nafs Gandasari. Keadaan
anaknya yang ketiga tak kunjung sembuh, Raudotul Jannah putri ketiganya divonis sakit
kanker, saat itu Heni tengah mendaftar ke Undip. putriya terpaksa harus dirawat
dirumah sakit keadaanya semakin parah, Heni dan suami mau tidak mau harus
menjaga putri ketiganya secara bergantian, disamping itu putri-putrinya yang
lain pun bergantian menjaga salma dirumah sakit.
Suatu hari,
saat Heni tengah ujian saringan masuk ke Universitas Diponegoro melalui
beasiswa, cobaan semakin membuatnya harus kuat, ternyata keadaan anaknya makin
kritis. Rasa sedih terus berkecamuk dalam hati Heni, disisi lain dia harus
menjalankan amanahnya karena ternyata dia lolos saringan masuk.
Saat itu seluruh
mahasiswa baru penerima beasiswa dihimbau untuk segera masuk ke ruang dekan
Fakultas Ushuluddin. Seluruh mahasiwa-pun akhirnya segera memenuhi ruangan. Mendengarkan
himbauan dari Dekan Fakultas Ushuluddin:
“Assalamu’alaikum warah matullahi wabarakatuh.Selamat
kepada rekan-rekan semua atas terpilihnya kalian sebagai mahasiswa di Fakultas Ushuluddin.
Kalian adalah orang-orang pilihan yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah di Undip.
Saya berharap kalian bersungguh-sungguh dalam menjalankan perkuliahan sampai sarjana.”
Betapa rasa
bahagia itu mengalir seketika, meskipun ditengah rasa cemas anaknya yang sedang
sakit kritis. Heni selalu semangat mengingat pesan-pesan cerita dari putri
ketiganya bernama Salma yang tengah terbaring tak berdaya. Pada hari itu Heni
terus menjalani prosedur dari fakultas, mengikuti aturan dari wakil dekan meski
hanya menghadiri dibacakanya pengumuman:
“Hari ini kalian dikumpulkan untuk melengkapi
semua administrasi dan membawa almamater untuk ta’aruf hari senin besok. Kalian
wajib datang untuk ta’aruf universitas. Sekarang silahkan kalian lengkapi administrasi ke rektorat dan ambil
almamaternya.”
Henipun mengikuti
pekan ta’aruf bersama anak-anak yang jauh lebih muda daripada usianya. Apalagi
telah menjadi seorang nenek dari cucu pertamanya bernama Rauqy Adzkiyatul Fataa,
yaitu anak dari putrinya yang bernama Aniq Ziyanul Jannah.
Mengenai
putri ketiga Heni, setelah berobat kesana-kemari Allah memberikan jalan yang
terbaik yaitu berpulang ke hadirat Allah SWT. Duka menyelimuti Heni dan
keluarga disamping kebahagiaanya lulus menerima beasiswa di Universitas Diponegoro.
Tidak hanya
sampai disana, Heni yang sibuk dengan segudang aktifitasnya sebagai ibu rumah
tangga dan mahasiswa dia tetap menjalani profesi dengan penuh tanggung jawab,
meskipun duka tengah meliputinya. Heni senantiasa bersikap tegar. Putrinya yang telah meninggal semakin memompa semangatnya untuk belajar.
Teringat
akan pesan-pesan putrinya yang telah meninggalkan Heni untuk selama-lamanya. Sedikit
rasa menyesal pasti ada dalam hati Heni, karena kesibukannya. Menjadikan waktu
untuk kumpul bersama keluarga menjadi berkurang. Sehingga kesempatan untuk
mengontrol kondisi anaknya saat dalam kondisi kritispun saat itu sangat tidak
maksimal.
Rasa
penyesalan itu bukan semakin membuatnya menjadi lemah, justru Heni bertekad
mewujudkan harapannya dan harapan dari putri ketiganya tersebut. Heni datang
menghampiri teman-teman satu Fakultasnya. Seperti biasanya Heni selalu menyapa
teman-temannya. Meski pada saat putrinya meninggal mereka tidak sempat melayat.
Mereka mengucapkan belasungkawa. Jawaban
Heni kepada teman-temanya cukup singkat.
“iya gak apa-apa terimakasih, mohon doanya saja
semoga di terima disisi Allah, dan diterima segala amal ibadahnya amin”.
Dengan
tabah dan sabar Heni selalu menunjukan sikap yang kuat, tidak mudah goyah dan
juga putus asa. Meski telah ditinggal lebih dahulu oleh putri ketiganya yang
bernama Raudotul Jannah, Heni tetap melanjutkan kuliah dengan tekun.
Sehari-hari
Heni masih senantiasa mengajar disekolah, siaran di radio dan juga ceramah.
Mengajar merupakan aktifitas keseharianya yang paling menonjol. Bahkan saat
ditanya oleh interviewer ketika hendak menerima beasiswa:
“Dengan
aktifitas ibu yang banyak itu, menurut ibu, ibu pantas tidak menerima beasiswa
ini? Apalagi beasiswa ini dana nya dari umat. Bagaimana tanggapan ibu? Kalau
misalnya jadwal mengajar bu Heni bentrok
dengan jadwal kuliah, karena fakultas ini tidak membuka kelas karyawan, apa
yang akan ibu lakukan?”
Heni menjawab:
“Hidup
saya punya skala prioritas, kalau saya mengajar dan kuliah bareng, saya akan
pilih untuk mengajar karena, hidup saya berawal dari mengajar.”
Begitulah
Heni menjawab dengan logatnya yang tegas, keras, disiplin dan penuh tanggung
jawab. Sungguh ibu yang luar biasa tegar. Kuliah lagi di Universitas Islam Bandung
dia jalani setiap hari. Masalah kehadiran dikelas nampak sedikit sekali absen
alias hampir tiap mata kuliah dia selalu hadir. Teman-teman Heni yang rata-rata
seusia dengan putra putrinya lebih suka memanggilnya dengan sebutan “Ummi” dari
bahasa Arab, yang artinya “ibu”.
Heni selalu
aktif dikelas, soal tanya jawab dia jagonya.
Pengalaman diluar sudah terlalu banyak, daripada pengalaman
teman-temanya yang masih pada pemula. Namun, meskipun sangat jauh usia Heni
dibanding teman-temanya, Heni tidak kalah soal semangatnya dalam belajar.
Terbukti dari nilai IPK nya, Heni selalu unggul. Apa si yang kurang dari ibu
Heni? Istri solihah, guru yang baik bagi murid-muridnya, penceramah, dan juga
pengurus organisasi.
Heni yang
waktu itu sedang asyik mengayuh sepedanya untuk pergi ke tempat dia mengisi ceramah
di acara pengajian ibu-ibu, tiba-tiba ditengah perjalanan ia menerima telfon
dari orangtua muridnya. Seorang anak muridnya ternyata membuatnya menjadi gelisah,
sebagai guru kelas Heni memiliki tanggungjawab terhadap apapun yang dilakukan
oleh anak-anak didiknya.
Anak-anak
yang Heni didik dilarang keras untuk merokok, namun tetap saja ada yang
melanggar aturan. Kenakalan anak-anak remaja seusia mereka lagi
melonjak-lonjaknya. Terpaksa Heni harus menangani kasus tersebut. Dori saat itu ketahuan tengah
merokok di kelas pada saat belajar dengan Pak Guru Matematika.
Saat itu
Heni tidak mengetahui kronologisnya. Heni hanya mendapat laporan dari pihak
guru lain dan juga murid-muridnya yang lain. Karena Guru Matematika terlanjur
emosi, sudah kesekian kalinya anak itu membuat ulah yang kelewat batas kesabaran,
akhirnya dia mengatakan tidak mau lagi mengajar anak-anak murid Heni.
Mengetahui
hal itu Dori ketakutan bukan main, khawatir di keluarkan dari sekolah, pihak
Dori dan orangtuanya meminta tolong membuatkan surat permohonan agar supaya
Guru Matematika berkenan mengajar kembali. Heni mengambil jalan tengah, perjanjian
damaipun dilakukan dari pihak Dori dan keluarga, guru matematika dan Heni
sendiri akhirnya menandatangani surat perjanjian.
Senyum lega
kini Heni gapai, satu hal yang menjadi cita-citanya, Heni ingin berhaji dengan
suami dan anak-anaknya.
Cita-cita sederhana
Heni sebenarnya hanya ingin melihat anak-anaknya tersenyum, mengantarkan mereka
pada kesejahteraan serta kesuksesan dimasa depan dengan baik. Yah, ibu mana
yang ingin melihat anak-anak yang dilahirkanya menderita? Seorang ibu yang mulia,
dan yang pasti apapun dilakukannya hanya untuk anaknya, suami dan keluarganya.
Heni sosok wanita
yang tangguh, pekerja keras, tak kenal putus asa istimewa dimata suami, keluarga,
anak-anak, dan murid-muridnya hingga teman-teman dikampusnya.
Harapan penulis,
semoga apa yang Heni impikan sejak kecil dengan kerja keras dan kesungguhanya
berbuah manis, dan berkilau bagai
permata.amin ^_^
No comments:
Post a Comment