Gerimis diminggu pagi ini membuatku teringat sebuah cerita
yang di tulis oleh guruku Prof DR. KH. Afif Muhammad yang berjudul "WANITA
TANPA BAKAT" yang menceritakan tentang ibunya, tentang bagaimana ibunya
mendidik anak-anaknya dan menjadi istri untuk suaminya, tulisan beliau sungguh
merupakan gambaran yang menunjukkan tentang sosok seorang istri yang sempurna
dan seorang ibu yang sempurna walaupun dengan segala keterbatasannya, inilah
kisahnya :
Kalau ada seorang perempuan yang paling sabar di dunia
ini, itu pasti ibuku. Seperti umumnya orang Jawa pesisiran, aku memanggil ibuku
dengan “Emak.” Orangnya tinggi semampai, berkulit langsat, dengan rambut lurus,
hitam tebal. Orang tidak akan menyebut emakku cantik, tetapi jika dikatakan
“manis”, mereka pasti sepakat. Emak, menurutku, salehnya luar biasa. Emak anak
sulung dari sembilan bersaudara. Dari deretan panjang saudara Emak itu,
laki-lakinya hanya ada tiga orang. Selebihnya perempuan.
Emak buta huruf latin, tetapi pandai membaca huruf Arab,
rajin shalat dan membaca Al-Qur’an. Suaranya sendu dan bergetar. Bulik-bulikku
mengatakan, “Makmu itu, kalau membaca Al-Qur’an, membuat orang yang
mendengarnya bisa nangis.”
Emak adalah orang yang tidak bisa berteriak. Seumur hidupku,
aku belum pernah mendengar Emak bersuara tinggi. Entah tidak bisa, atau memang
tidak mau, sampai hari ini aku tidak tahu. Yang aku tahu, Emak jarang sekali
marah. Kalau pun marah, Emak cenderung diam. Sepertinya, amarahnya tidak pernah
bisa keluar, karena dada Emak begitu kuat menahannya. Tetapi, itu tak berarti
Emak tidak pernah marah. Namanya juga manusia. Cuma, marah Emak diwakilkan
kepada anak-anaknya. Maksudku begini. Sekali waktu, ketika aku minta embuh,
nasi sudah tidak ada lagi. Aku menangis sambil gulung-gulung di tanah.
Piring kulempar. Eee…, Emak tenang-tenang saja. Yang marah justeru
kakak-kakakku. Mereka mengikat aku di salah satu tiang bambu yang ada di dapur.
Emak tidak mencegah mereka. Sepertinya, dia mau mengatakan, “Kalau kamu
seperti itu, Emak tidak marah, tapi kakak-kakakmu yang marah padamu.”
Ketika aku meronta, tiang itu jebol, dan kakak-kakakku
membawa aku ke lubang sampah yang lebarnya kira-kita dua meter dan
dalamnya satu setengah meter. Mereka mengancamku untuk memasukkan aku ke
lubang itu. Ancaman itu mujarab. Aku tidak menangis lagi. Kemudian Emak
memandikanku di sumur, sambil menasehatiku dengan suara lembutnya. Dan semuanya
selesai. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Emak saat itu. Mungkin hatinya
tersayat-sayat melihat aku masih ingin makan, tetapi nasi sudah tidak ada lagi.
Padahal sebenarnya, tidak boleh embuh itu sudah aturan keluarga. Cuma,
karena ketika itu aku masih kecil, aku kurang bisa memahaminya.
Malam harinya, ketika Emak menidurkan aku, Emak menasehatiku
dengan suaranya yang lembut, “Anak seusiamu boleh nakal, tetapi tidak boleh
merusak…”. Mendengar itu, diam-diam aku menangis.
Hubungan Emak dengan Bapak bukan sekedar hubungan suami
dengan isteri, tetapi guru dan murid. Kalau Bapak berbicara kepada Emak, Bapak
menggunakan bahasa ngoko, tetapi Emak menjawabnya dengan bahasa kromo.
Emak begitu hormat kepada Bapak, sampai-sampai tidak pernah kudengar dia
protes barang sekali pun. Aku tidak tahu apa sebabnya. Mungkin kakek dan
nenekku (dari pihak Emak) mengajarinya begitu. Melawan suami? Tidak ada
kamusnya. Karena, memang tidak ada alasan bagi Emak buat melawan Bapak.
Emak pernah bercerita kepadaku bahwa ketika menikah
dengan Bapak, Bapak adalah joko tua (bujangan tua). Ukurannya
bukan usia Bapak, tetapi jarak usia mereka berdua. Aku tidak tahu persis
berapa jarak usia Emak dengan Bapak. Tetapi, ketika Bapak
meninggal duani di tahun 1993, usianya 93 tahun. Emak meninggal
dunia tahun 2000 dalam usia 83 tahun. Berapa tahun tuh jaraknya?
Kata Emak, ketika menikah, Emak masih kecil. Mereka
dijodohkan oleh Embah (ayahnya Emak). Ceritanya seperti kisah para pendekar
jaman dulu. Bapak adalah santrinya Kiai Muntaha di Pondok Kedung Macan.
“Kedung” artinya sarang dalam bentuk lubang besar. Lazimnya di tengah Sungai.
Jadi, mestinya Kedung (untuk) Buaya, bukan Kedung Macan. Entahlah.
Mungkin di kampung itu dahulu ada macan yang bersarang di dalam kedung di
tengah suangai, sehingga namanya menjadi Kedung Macan.
Sedangkan Emak tinggal bersama Embah di Tawangsari. Aku yakin Embah orang asli
Jombang. Sebab, sanak-familinya tersebar di seluruh penjuru Mojopahit.
Emak adalah tipe isteri yang berbakti kepada suami.
Keikhlasannya menjadi pendamping Bapak memancar lahir dan batin. Tampaknya,
konsep “suwarga nunut neraka katut” benar-benar mendarah-daging pada
diri Emak. Sepertinya Emak yakin betul bahwa Bapak pasti membawanya ke surga,
tidak ke neraka. Antara mereka berdua tidak pernah ada pertengkaran, tidak ada
protes, tidak ada keluh-kesah, tidak ada kata kasar dan bentakan. Yang
ada adalah kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi kehidupan yang sangat
berat. Kondisi seperti itu yang membuat aku, hingga kini, pasti tersentak
kaget setiap mendengar suara tinggi, apalagi bentakan.
Semua itu membuat Emak memang tidak ceria, tetapi juga
tidak kelabu. Wajahnya teduh, dan memancarkan keikhlasan dan kesabaran tanpa
batas. Kebutuhan hidupnya sangat tidak tercukupi. Tetapi Emak tidak pernah
mengeluh. Tidak pula pernah menangis. Kalau pun pernah, aku tak pernah
melihatnya, bahkan sampai Emak meninggalkan kami. Di tangan Emak,
apa yang bagi orang lain tak cukup, menjadi cukup. Yang sempit menjadi
lapang. Yang dianggap orang hanya cukup untuk seorang, di tangan Emak bisa
cukup untuk tiga orang. Daya tahannya benar-benar luar biasa, dan itu
dialirkannya ke tubuh kami lewat setiap kepal nasi yang dibagikannya di
piring-piring kami, lewat setiap tetes air yang kami teguk, lewat
dingin malam yang kami lalui dalam gelap, lewat terobosan angin yang menyelusup
di dinding-dindingbilik rumah kami yang berlubang, lewat suara sendunya saat
membacara kalam Ilahi, lewat cahaya matanya yang berkaca-kaca tetapi tak pernah
mengalirkan air mata, lewat detik-detik waktu yang kami jalani jengkal demi
jengkal, lewat lidah-lidah api yang marayap dari daun-daun kering yang
digunakannya untuk menanak nasi.
Daun-daun kering untuk menanak nasi? Ya. Emak memang sering
memasak dengan menggunakan daun kering sebagai pengganti kayu bakar. Mestinya
hal itu tidak perlu terjadi. Sebab, mencari kayu bakar dari
ranting-ranting pohom atau carang (ranting-ranting pohon bambu) kering
tidak terlalu sulit kami dapatkan. Tetapi Emak tentu tidak dapat melakukan itu.
Biasanya aku yang melakukannya. Tetapi, sebagai anak-anak yang masih dalam usia
senang bermain, aku tidak selamanya dapat mencari kayu atau carang untuk
Emak. Kesadaran kanak-kanakku rasanya belum dapat menjangkau hal-hal seperti
itu. Sekali pun tidak sering, aku tidak jarang membiarkan Emak tidak punya kayu
untuk menanak nasi. Kalau sudah begitu Emak menyapu pekarangan kami yang memang
luas itu, guna mengumpulkan daun-daun nangka dan mangga yang berserakan.
Daun-daun keringnya dipisahkan dari daun-daun basahnya, lalu daun-daun itu
dimasukkan ke sangkar ayam, dan dibawa ke dapur. Dengan daun-daun kering itulah
Emak menanak nasi. Jadi, bisa kawan-kawan bayangkan berapa lamanya menanak nasi
dengan daun-daun kering seperti itu. Sebab, jika kita menaruh tangan kita
di atas lidah-lidah apinya, rasanya tidak panas.
Sekali pun dengan daun kering, nasi atau air yang ditanak
Emah, toh, masak juga. Entahlah, untuk waktu itu rasanya, ya, biasa-biasa saja.
Tidak lama. Mungkin karena manusia zaman itu belum sibuk seperti sekarang,
sehingga semuanya berjalan tidak tergesa-gesa seperti sekarang ini. Matahari
rasanya lambat berjalan. Waktu antara Zhuhur ke `Ashar, dan `Ashar ke Maghrib,
terasa cukup lama, sehingga bermain layang-layang pun bisa kenyang. Keadaan
seperti itu sangat berbeda dengan yang aku rasakan ketika aku sudah dewasa.
Sekarang ini aku merasakan bahwa waktu berjalan begitu cepat. Entahlah,
mungkin karena aku sibuk, sehingga waktu berjalan tanpa terasa. Tambahan lagi,
orang-orang sekarang kan penuh persaingan. Kalau tidak cepat, pasti tidak
dapat. Akibatnya, segala sesuatu berjalan tergesa-gesa, seakan-akan semua orang
dikejar-kejar waktu. Atau, jangan-jangan, matahari memang berjalan lebih cepat?
Dengan anak delapan orang, hampir di sepanjang hidupnya,
Emak tidak merasakan kegembiraan. Emak tidak pernah punya baju bagus. Bahkan
jumlah bajunya pun sangat sedikit. Lemari kami yang tinggi besar dan
terbuat dari jati itu tidak pernah ada isinya. Apalagi perhiasan. Dalam hal
makan, beras untuk hari ini, ya, dibeli hari ini. Bahkan, kadang-kadang tidak
ada. Botekan-nya pun lebih sering kosongnya dibanding berisinya. Karena
itu, ketika kami pingin rujakan, kami seringkali sulit menemukan bumbu,
bahkan sekedar sebutir cabai rawit sekali pun. Itu sebabnya masakan Emak “tidak
enak.” Bukan karena Emak tidak pandai memasak, tetapi bumbunya yang nggak
ada. Karena itu, ketika kami sudah sama-sama dewasa, dan kebetulan bisa
berkumpul, lalu kami membicarakan masakan Emak, kami berkata sambil
tersenyum-simpul: “Masakan Emak tidak enak.” Kalau sudah begitu, Mas
Chalik pasti membela, “Ya, karena nggak ada yang bisa dipakai membuat enak,
Dik….” Dan kami pun tertawa gembira. Kami semua bangga punya Emak seperti
itu, sebangga kami terhadap Bapak.
Pengaruh Bapak pada diri Emak kuat sekali, sehingga
Emak menjadi sangat berbeda dari saudara-saudaranya. Ketaatannya beribadah,
adalah ketaatan Bapak. Khusyu`nya dalam shalat adalah kekhusyu`an Bapak.
Ketidaksukaannya membicarakan orang adalah kebiasaan Bapak. Walhasil,
menurutku, Emak sudah “lenyap” dalam pusaran Bapak yang demikian kuat.
Ketika aku rindu pada Bapak dan Emak seperti sekarang ini,
aku sering membayangkan betapa menderitanya mereka. Tetapi penderitaan
itu mereka hadapi tanpa suara. Bukan bisu, tetapi diam. Sikap diam yang sanggup
membuat penderitaan menyerah di kaki mereka. Mereka berdua adalah orangtua yang
rela menderita demi anak-anak mereka. Pandangan mereka jauh ke depan, sehingga
yang di depan mata tidak mereka perdulikan. Mereka berdua begitu memperhatikan
kami, sehingga hak-hak mereka untuk sedikit senang, rasanya sudah kami rampas
sehabis-habisnya.
Emak sepertinya dihadirkan Tuhan untuk menjadi perempuan
tanpa bakat, kecuali tabah dan sabar. Sebab, ketika Emak berusaha melawan
kesulitan hidup kami dengan berbagai usaha, semuanya gagal. Emak pernah mencoba
menjadi penjual ikan asin di pasar kota, dan gagal. Menjual jamu dan tembakau
susur, juga tidak berhasil. Ketika ibu-ibu lain memelihara ayam dan bertelur
banyak, ayam-ayam yang dipelihara Emak seperti mandul. Ketika orang-orang
lain menanam mangga dan berbuah lebat, pohon mangga kami justeru berulat. Kata
orang, tangan Emak “panas.” Ia keturunan Drupadi, yang tidak diciptakan kecuali
hanya untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya.
**********
Seorang wanita dengan segala keterbatasannya, jauh sekali dari kesempurnaan, tapi dia mampu memberikan cinta yang sempurna untuk suami dan anak-anaknya, sebagai istri dia mampu memberikan penerimaan dan ketulusan yang sempurna untuk suaminya walaupun suaminya tak mampu memberikan limpahan kebahagiaan material kepadanya, dia memang tak mampu membantu suaminya menambah nafkah keluarga, tapi dia tidak membebani suaminya dengan keluh kesahnya, dia terima dan syukuri apapun yang ada pada suaminya dan yang diberi oleh suaminy,. sebagai ibu dia mampu memberikan teladan yang sempurna pada anak-anaknya, tak banyak kata yang dia ucapkan untuk mengajarkan anak-anaknya, namun segala perilakunya menjadi teladan bagi semua anaknya.
Seorang wanita dengan segala keterbatasannya, jauh sekali dari kesempurnaan, tapi dia mampu memberikan cinta yang sempurna untuk suami dan anak-anaknya, sebagai istri dia mampu memberikan penerimaan dan ketulusan yang sempurna untuk suaminya walaupun suaminya tak mampu memberikan limpahan kebahagiaan material kepadanya, dia memang tak mampu membantu suaminya menambah nafkah keluarga, tapi dia tidak membebani suaminya dengan keluh kesahnya, dia terima dan syukuri apapun yang ada pada suaminya dan yang diberi oleh suaminy,. sebagai ibu dia mampu memberikan teladan yang sempurna pada anak-anaknya, tak banyak kata yang dia ucapkan untuk mengajarkan anak-anaknya, namun segala perilakunya menjadi teladan bagi semua anaknya.
Sebuah
Nasehat:
Dengan
segala cinta dan ketulusannya, wanita tanpa bakat itu telah berhasil mencetak
anak-anak yang bersahaja dengan pribadi dan kehidupan yang luar biasa seperti
guruku yang telah menuturkan kisah tersebut. Yakinilah tak ada seorangpun yang
sempurna di dunia ini, tak perlu juga menjadi seorang yang sempurna untuk bisa
menjadi seorang istri dan seorang ibu yang sempurna, cukup berusahalah
memberikan cinta, ketulusan dan pengorbanan yang sempurna, lalu syukurilah
semua fase kehidupanmu secara sempurna, maka kebahagiaan, cinta dan kasih sayang
dari Allah dan semua yang kau cintai akan kamu dapatkan dengan sempurna.
No comments:
Post a Comment